Pada suatu hari saudara saya (orang jawa) berselisih dengan seorang supir angkot yang berasal dari daerah tapanuli (batak)…. masalahnya mungkin sudah diduga yaitu, senggol menyenggol kendaraan di tengah kemacetan. Karena tidak ada polisi dan kedua belah pihak tetap pada pendiriannya, mereka sepakat menuju kantor polisi terdekat.
Karena si supir berbicara meledak-ledak, maka ditegurlah sang supir oleh pak polisi agar berbicara lebih santun dan tenang. Namanya pak supir yang sedang naik pitam … sekonyong-konyong ia berbicara :
“Saya orang Batak …. saya tidak bisa bicara halus seperti dia (sambil menunjuk ke arah saudara saya). Kami orang batak kalau bicara lantang dan terus terang tetapi jujur, tidak seperti orang Jawa bicara tidak jujur, berputar-putar dan berbelit-belit”.
Itulah manusia …. kebaikan dan keburukan itu sangat relatif, tergantung nilai-nilai yang kita anut, budaya, adat-istiadat, kebiasaan, latar belakang pendidikan, pengharapan dll.
Untuk orang batak yang baik adalah bicara langsung, terbuka dan terus terang karena disitu nilai kejujuran dan keterbukaan dijunjung. Namun bagi orang jawa, hal itu tidak sopan, kalau berbicara sebaiknya harus santun.
Kebaikan buat saudara saya (sopan santun, bicara halus dengan tutur kata yang baik) dianggap keburukan bagi si supir karena dianggap berputar-putar, berbelit-belit dan tidak jujur. Begitu juga sebaliknya.
Dari contoh kejadian sederhana di atas, pesan yang ingin saya sampaikan juga sederhana, yaitu sepatutnya kita : Jangan selalu merasa diri kita paling benar !
Kebenaran buat sebagian orang, bisa saja kesalahan buat sebagian orang lain. Sekali lagi penilaian “kebenaran” sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, budaya, adat-istiadat, pendidikan, pengetahuan, pengharapan, dll.
Kebenaran merupakan sebuah persepsi. Persepsi bukanlah fakta. Jika diibaratkan Persepsi adalah sebuah peta dan fakta adalah wilayah (contoh Jabotabek) yang sebenarnya, maka sebaik apapun peta itu dibuat menyerupai wilayah(jabotabek)-nya, peta tetaplah peta … tidak akan pernah menggantikan wilayahnya. Jadi persepsi tentang “kebenaran” tidak akan pernah sesuai dengan kebenaran yang hakiki, karena kebenaran yang hakiki hanyalah milik Tuhan maha pencipta.
Dengan memahami prinsip ini, maka pikiran kita akan :
– lebih terbuka menerima sudut pandang orang lain
– lebih dapat menerima kritikan
– lebih sabar menghadapi perbedaan pendapat
– lebih efektif dan produktif dalam berdiskusi
– lebih bisa berfikir inovatif dan kreatif
sehingga kita lebih bisa maju ke depan dan terus meningkatkan diri. Selamat belajar dalam segala kehidupan.